Beranda | Artikel
Bahaya Ghuluw dan Mengkultuskan Individu
Rabu, 12 Desember 2018

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Haidar As-Sundawy

Bahaya Ghuluw dan Mengkultuskan Individu merupakan rekaman ceramah agama dan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh: Ustadz Abu Haidar As-Sundawy dalam pembahasan Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad karya Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada 15 Rabbi’ul Awwal 1440 H / 23 November 2018 M.

Status Program Kajian Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I`tiqad

Status program kajian Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I`tiqad: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Jum`at, pukul 16:30 - 18:00 WIB.

Download mp3 kajian sebelumnya: Cara Yang Benar dalam Memuliakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Kajian Tentang Bahaya Ghuluw dan Mengkultuskan Individu – Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad

Beliau ialah seorang Nabi dan Rasul yang harus diagungkan, dimuliakan, ditaati dan dituruti. Tapi ada batasnya. Tidak boleh berlebih-lebihan karena selain sebagai Nabi dan Rasul, beliau juga seorang hamba. Dan sifat hambanya disebut lebih dahulu dari pada sifat Rasul atau Nabinya.

وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Beliau hamba, tidak boleh dijadikan sebagai yang disembah. Beliau Abdun, bukan Ma’bud. Ma’bud hanyalah Allah. Beliau hamba yang beribadah kepada Allah.

Kalau kultus atau ghuluw atau berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terlarang, terlebih lagi berlebih-lebihan kepada orang yang levelnya dibawah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti para shalihin, para ulama, para aulia, orang-orang yang memang nyatanya shalih, nyatanya mereka wali-wali Allah yang sudah meninggal, maka tidak boleh bersikap ghuluw kepada mereka. Yang dimaksud dengan ghuluw kepada orang-orang yang shalih adalah mengangkat tingkatan mereka kepada tingkatan yang melebihi posisi yang telah Allah tetapkan untuk mereka.

Jadi, mereka itu manusia biasa, namun shalih. Mereka dekat kepada Allah, mereka ahli ibadah, ahli taqarrub. Sebagai ahli ibadahnya, sebagai orang shalihnya wajib dimuliakan, wajib untuk dihormati, diagungkan, nggak boleh dilecehkan. Haram hukumnya melecehkan manusia biasa, apalagi melecehkan para ulama, para shalihin, para wali Allah. Tapi walaupun mereka wajib dihargai, dihormati,  kadar penghargaannya tidak boleh melebihi sampai pada sikap yang hanya boleh dilakukan kepada Allah. Tidak boleh ditujukan kepada para wali Allah, para shalihin yang sudah meninggal. Seperti istighatsah kepada para wali yang sudah meninggal ketika kita memperoleh musibah atau kesulitan. Istighatsah itu artinya minta bantuan agar dilepaskan dari kesulitan, dari penderitaan, dari musibah, dari kesengsaraan. Atau tawaf di kuburannya, atau tabarruk (ngalap berkah) terhadap tanah kuburannya. Atau menyembelih kurban hewan di sekitar areal kuburannya. Bahkan meminta pertolongan kepada orang-orang yang sudah dikuburkan.

Kalau sudah sampai taraf sana, itu sudah melebihi batas kadar pengagungan. Istighosah hanya boleh kepada Allah, Istianah hanya boleh kepada Allah, tawaf hanya boleh kepada Ka’bah, bukan karena menyembah Ka’bah tapi karena Allah memerintahkan kita untuk tawaf mengelilingi Ka’bah. Jadi kalau tawaf di kuburan para wali dan dianggap ibadah yang sama nilai ibadahnya dengan tawaf di Ka’bah itu kultus individu yang berlebihan.

Begitu juga menyembelih. Padahal menyembelih itu ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Allah berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾

Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan menyembelihlah.” (QS. Al-Kautsar[108]: 2)

Allah juga berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّـهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ …

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya;..” (QS. Al-An’am[6]: 163)

Allah menyebut menyembelih disandingkan dengan shalat dalam dua ayat di atas. Menunjukkan bahwa menyembelih atau berkurban itu ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah dan tidak boleh berkurban untuk selain Allah. Walaupun berkurbannya itu dengan nilai yang sangat kecil bahkan tak bernilai tapi niat kita berkurban untuk selain Allah, maka haram. Kita sudah jelaskan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada orang masuk surga dan masuk neraka karena seekor lalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲْ ﺫُﺑَﺎﺏٍ , ﻭَﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲْ ﺫُﺑَﺎﺏٍ، ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﻭَﻛَﻴْﻒَ ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺮَّ ﺭَﺟُﻼَﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﻮْﻡٍ ﻟَﻬُﻢْ ﺻَﻨَﻢٌ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُﻩُ ﺃَﺣَﺪٌ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻘَﺮِّﺏَ ﻟَﻪُ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻓَﻘَﺎﻟُﻮْﺍ ﻷَﺣَﺪِﻫِﻤَﺎ : ﻗَﺮِّﺏْ، ﻗَﺎﻝَ : ﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪِﻱْ ﺷَﻲْﺀٌ ﺃُﻗَﺮِّﺏُ، ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﻟَﻪُ : ﻗَﺮِّﺏْ ﻭَﻟَﻮْ ﺫُﺑَﺎﺑًﺎ، ﻓَﻘَﺮَّﺏَ ﺫُﺑَﺎﺑًﺎ ﻓَﺨَﻠُّﻮْﺍ ﺳَﺒِﻴْﻠَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ، ﻭَﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﻟِﻶﺧَﺮِ : ﻗَﺮِّﺏْ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺖُ ﻷُﻗَﺮِّﺏَ ﻷﺣَﺪٍ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻀَﺮَﺑُﻮْﺍ ﻋُﻨُﻘَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat pula.”
Para sahabat bertanya: “Bagaimana itu bisa terjadi ya Rasulullah?
Rasul menjawab: “Ada dua orang berjalan melewati sebuah kaum yang memiliki berhala, yang mana tidak boleh seorangpun melewatinya kecuali dengan mempersembahkan sesuatu untuknya terlebih dahulu, maka mereka berkata kepada salah satu di antara kedua orang tadi: “Persembahkanlah sesuatu untuknya!” Ia menjawab: “Saya tidak mempunyai apapun yang akan saya persembahkan”, mereka berkata lagi: “Persembahkan untuknya walaupun seekor lalat!” Maka iapun mempersembahkan untuknya seekor lalat, maka mereka membiarkan ia untuk meneruskan perjalanannya, dan iapun masuk ke dalam neraka. Kemudian mereka berkata lagi kepada seseorang yang lain: “Persembahkalah untuknya sesuatu!” Ia menjawab: “Aku tidak akan mempersembahkan sesuatu apapun untuk selain Allah, maka merekapun memenggal lehernya, dan iapun masuk ke dalam surga” (HR. Ahmad).

Berapa harga lalat? Tidak ada harganya. Jangankan dijual, sekarung lalat dikasih hadiah kepada kita pun tidak akan mau. Tapi niat berkurbannya kepada selain Allah itu yang dinilai. Akhirnya orang itu masuk neraka.

Lihat. Bukan nilai dunia dari apa yang kita korbankan, tapi pengorbanan itu untuk siapa? Untuk Allah ataukah untuk selain Allah? Maka banyaknya orang yang berkurban di kuburan dengan i’tikad lebih afdhal, lebih utama dan ditujukan untuk si penghuni kubur, itu perbuatan yang hanya boleh ditujukan kepada Allah ‘azza wa jalla.

Setan laknatullah ‘alaih telah memasukkan perbuatan syirik ini kepada kaum Nabi Nuh melalui pintu bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) kepada para shalihin (orang-orang shalih), kepada ulama-ulama yang suka memberi bimbingan, wejangan, tuntunan, sehingga orang-orang tertuntun. Lalu ketika orang-orang shalih itu meninggal. Kaum Nabi Nuh merasa kehilangan dan ingat kepada wejangan. Mereka mencintai orang-orang shalih itu.  Lama-lama untuk mengingatkan dibuat patungnya, begitu melihat patung teringat nasihat-nasihatnya dan terdorong untuk beribadah. Ibadahnya kepada Allah. Lalu setan sedikit demi sedikit memasukkan strateginya menggiring orang tersebut untuk kultus kepada para shalihin yang sudah mati, akhirnya disembah.

Maka Nabi Nuh memperingatkan untuk menyembah hanyalah Allah. Namun tokoh-tokohnya mengatakan:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا ﴿٢٣﴾

Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”.” (QS. Nuh[71]: 23)

Jadi, terjerumusnya kaum Nabi Nuh kepada perbuatan syirik melalui pintu mengagungkan orang-orang yang shalih. Itu sudah terjadi, jangan sampai umat ini terjerumus ke dalam kesalahan yang sama sekalipun dengan niat yang baik. Niatnya adalah menghormati orang orang shalih. Niatnya bagus, caranya yang berlebih-lebihan. Itu yang terjadi pada kaum Nabi Nuh.

Ternyata hal yang serupa terjadi menimpa umat Islam ini. Banyak orang yang digiring untuk menghormati para ulama dan itu bagus. Harus dihormati. Mengagungkan mereka sampai mereka sudah wafat, wajib. Dihormati, dijaga nama baiknya, diberikan doa-doa kebaikan, kita mendo’akan orang-orang shalih itu bukan karena orang shalih tersebut dikhawatirkan masuk neraka. Mereka dengan keshalihannya selamat. Tapi pengagungan ini sampai pada taraf kultus, melebihi manzilah (ketentuan Allah) yang sebenarnya seperti yang alami oleh kaum Nabi Nuh.

Setan terus-terusan membisikan kepada para pemuja kuburan. Beberapa argumentasi, beberapa pemahaman, bahkan keyakinan bahwa membangun bangunan di atas kuburan, terus berdo’a di samping kuburan, tawaf mengelilingi kuburan, itu dianggap sebagai bentuk nyata kecintaan kita kepada orang-orang yang shalih. Berdoa di samping kuburan itu dianggap mustajab, lebih mustajab daripada di masjid, lebih mustajab dari pada tengah malam walaupun di rumah, terus sampai kepada taraf tawasul kepada orang yang sudah mati, berdoa kepada Allah melalui perantara para ulama. Ini semua dilakukan terus sampai terbiasa. Itulah langkah-langkah awalnya.

Sampai pada akhirnya, berdo’a kepada orang yang ada di kubur tersebut. Lama-lama menjadikan kuburan itu sebagai berhala yang disembah. Diperlakukan secara spesial, secara khusus, dipasangi lentera-lentera yang indah, lampu-lampu, dipasangi tirai-tirai dan kain-kain yang indah, tawaf mengelilingi kuburan, menyentuh-nyentuh kuburan, mencium kuburan seperti yang mereka lakukan kepada Hajar Aswad. Padahal kita disyariatkan mencium Hajar Aswad ketika tawaf bukan karena Hajar Aswad itu memiliki sesuatu yang istimewa. Tapi karena Allah dan RasulNya yang memerintahkan. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menyatakan:

 إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ

Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari  dan Muslim).

Motivasi menciumnya itu iqtida atau mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu dilakukan oleh sebagian kaum muslimin kepada kuburan para wali. Disentuh-sentuh, dielus-elus dan dicium. Jika sudah sampai taraf itu, berarti sudah sampai pada taraf yang parah.

Dan tidak sampai disana. Mereka mengajak orang untuk melakukan seperti yang mereka lakukan. Dikoordinir untuk kesana. Ziarah kuburnya tidak  masalah dan memang dianjurkan, diperintahkan. Yang jadi masalah adalah apa yang mereka lakukan ketika ziarah itu. Adapun yang tidak melakukan itu maka tidak mengapa.

Namun perlu diperhatikan juga tentang  mengadakan perjalanan jauh. Sampai takalluf (memaksa-maksakan diri). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ : المَسْجِدِ الحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

Tidak boleh mengadakan perjalanan/safar kecuali menuju ke ketiga masjid: Masjid al Haram, masjid ar Rasul shallallahu alaihi wasallam, dan masjid al Aqsha.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Walhasil, selain ketiga tempat tersebut, tidak boleh mengadakan perjalanan jauh yang memayahkan diri. Jadi bukan ziarah kuburnya yang dipermasalahkan. Tapi apa yang mereka lakukan ketika ziarah.

Jadi, merekatidak hanya melakukan itu. Tetapi mereka juga mengajak orang untuk melakukan itu, mendakwahkan hal itu, menjadikan kuburan sebagai tempat berkumpul, berdoa bersama, beribadah bersama, sekalipun mintanya kepada Allah. Kita tidak bisa memukul rata mereka terjerumus dalam perbuatan syirik semua, tidak. Karena tidak semua mereka begitu. Ada yang memintanya hanya kepada Allah tapi tawasul kepada si penghuni kubur, ini tidak sampai taraf musyrik, syirik kecil. Ada yang berdo’anya kepada Allah tapi punya i’tikad kalau dilakukan di samping kuburan Syaikh ini, maka lebih makbul, itu kebid’ahan dalam masalah akidah, dan seterusnya.

Simak penjelasannya pada menit ke – 23:20

Simak Kajian Lengkapnya, Download dan Sebarkan mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Bahaya Ghuluw dan Mengkultuskan Individu – Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/45441-bahaya-ghuluw-dan-mengkultuskan-individu/